Sepulang dari menjemput anak saya biasanya saya gunakan untuk bersantai. Saya buka facebook dan lihat timeline adik kelas saya. Tumben sekali adik kelas saya upload foto sesuatu. Karena setahu saya dia tidak aktif di facebook. Saya lihat gambar yang dia upload, ini:
Foto di atas adalah jawaban atas pertanyaan yang diberikan ke anak SD kelas 1. Dari sepuluh pertanyaan, yang terjawab benar hanya 6 pertanyaan. Sebenarnya sudah kesekian kalinya saya melihat jenis pertanyaan seperti ini. Saya pikir pihak penyelenggara pendidikan segera menyadari dan merevisi jenis-jenis pertanyaan seperti ini. Tetapi nyatanya, masih saja ada. Menurut saya soal seperti ini harus direvisi atau ditinjau ulang. Mengapa harus direvisi? Mari kita lihat lagi pertanyaannya 1, 3, 4, 5, 7. 9 dan 10. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat anak bingung menjawabnya. Ambil saja pertanyaan pertama, "Tata tertib harus kita ….”. Untuk menjawab pertanyaan itu, jangankan anak kecil, orang dewasapun akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Bahkan bisa jadi kalau orang dewasa tidak bisa menjawabnya karena terlalu banyak pengetahuan dan melihat pertanyaan itu dari sudut pandang yang bermacam-macam. Apalagi untuk pertanyaan nomor 5, "Anak laki-laki biasanya suka bermain …”. Di jaman sekarang, di jaman banyak disediakan berbagai permainan, tentu akan sulit menjawabnya. Anak laki atau perempuan bisa main apa saja asal mereka mau. Berbeda lagi dengan pertanyaan nomor 10, "Sepatu, tas dibuat oleh … ". Jika anaknya suka membaca buku tentang robot, si anak bisa saja menjawab robot daripada manusia. Kemudian masalah anting-anting, jika dia pernah melihat laki-laki menggunakan anting-anting, jelas saja akan bingung. Kebetulan anak ketiga saya juga kelas 1. Tetapi sekolah di Inggris. Apa yang dipelajarai di Year 1? Sejak Reception, atau pra-SD, anak dikenalkan membaca. Tidak bisa membaca juga tidak apa-apa karena usia di Reception masih 4 hingga 5 tahun. Sementara menulis baru diajarkan di Year 1 (usia 5-6 tahun). Di sekolah tertentu, membaca baru diajarkan ke Year 1 sehingga pada sekolah tertentu di awal masuk Year 1, baru memulai membaca buku-buku Oxford Reading Tree yang level merah (level 2). Sementara di sekolah lain karena di Reception diajarkan membaca, sampai di Year 1 sudah ada yang sampai level oranye (level 6). Anak belum sampai level 6 ketika Year 1 juga tidak apa-apa dan tidak ada tidak naik kelas. Di balik sampul di setiap buku Oxford Reading Tree itu ada semacam petunjuk apa yang harus dilakukan sebelum membaca buku, selama membaca buku dan beberapa kata yang dipelajari. Untuk petunjuk sebelum membaca buku hampir semua buku sama. Kebetulan buku yang saya pegang judulnya Kipper and the Giant. Di balik sampul depan, petunjuk yang diberikan adalah ini:
Jadi jelas apa yang harus dilakukan oleh pendamping anak ketika membaca. Setelah membaca buku, di sampul belakang disediakan petunjuk pertanyaan terkait dengan isi bacaan. Tetapi pada praktiknya, guru atau yang mendampingi membaca bisa membuat pertanyaan lain asalkan tidak menyimpang dari isi bacaan. Bisa juga jika anak terlihat antusias, pendamping pembaca meminta anak menceritakan kembali semua isi buku dengan menggunakan kata-kata dia sendiri. Jika ada bahan bacaanya, mana yang jawaban benar dan mana yang tidak benar bisa kelihatan. Karena standarnya adalah yang ada di dalam bacaan. Membuat buku seperti Reading Oxford Tree tentu lebih mahal karena satu halaman tulisannya hanya beberapa baris tetapi dipenuhi dengan gambar. Itupun menggunakan kertas yang tebal dan glossy. Tetapi, jika hanya sekedar membuat cerita yang beberapa baris saja, Indonesia bisa. Sepertinya ini sudah diterapkan sejak saya kecil. Ketika saya sekolah sudah terbiasa dengan soal cerita dimana anak menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang dia baca. Jadi tidak perlu membuat pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya potensial diperdebatkan karena pengalaman si anak berbeda. Jangankan anak, seperti yang saya katakan di atas, orang dewasa saja masih bingung menjawabnya. Bagi kita yang sudah dewasa jawaban untuk pertanyaan seperti itu bukan hanya satu kata, tetapi kalimat bahkan jika perlu dalam satu atau dua paragraf karena harus diberi penjelasan yang masuk akal. Untuk anak kecil, apa mungkin melakukan ini?
Mungkin ada saatnya pertanyaan seperti itu diberikan kepada anak. Tetapi tidak untuk yang terkait dengan kebiasaan sehari-hari. Karena kebiasaan sehari-hari setiap anak dan keluarganya berbeda-beda. Pertanyaan seperti contoh di atas hanya akan cocok jika diterapkan untuk soal-soal IPA, IPS atau pengetahuan lain seperti sejarah dan matematika. Itupun, jika anak suka membaca dan suka berselancar di dunia maya yang membuat dia memiliki pengetahuan lebih, akan menghasilkan jawaban yang tidak sama atau sama tapi tidak serupa.
Alternatif lain jika memang mau mempertahankan pertanyaan seperti itu adalah sebaiknya anak tidak hanya dibatasi menjawab dengan satu kata saja. Bisa berupa kalimat. Sekalian belajar membuat kalimat. Kemudian diberi tambahan pertanyaan lagi, seperti "Mengapa?” Sehingga diketahui alasan anak menjawab itu.
Lantas mana jawaban yang benar? Tidak ada jawaban yang benar karena tidak pasti. Guru hanya mengoreksi kalimatnya sudah benar atau salah. Di sini berarti anak secara tidak langsung belajar membuat kalimat yang benar sesuai dengan EYD. Manfaatnya lainnya, guru bisa melihat logika berfikir anak sudah masuk akal atau tidak. Cara seperti ini menurut saya lebih membuat anak lebih kreatif dan tidak terkurung oleh satu pandangan yang seringkali membingungkan anak. Saya yakin, setiap jawaban anak pasti ada alasannya. Dan alasan itulah tahap awal anak bertanggungjawab dan bisa melatih kemampuan berargumentasi sekaligus bisa digunakan untuk melatih menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti ini di Inggris diajarkan di Year 2 (usia 6-7 tahun).
Selama ini yang dialami anak-anak saya selama sekolah di salah satu sekolah dasar di Birmingham seperti itu. Saya yakin bisa diadopsi dan cocok di sekolah di Indonesia. Tinggal melatih guru-gurunya dan kemauan dari para pengambil kebijakan di sekolah. Mengutip kata sahabat suami saya dan beberapa orang, bahwa "apa-apa yang di luar negeri belum tentu cocok dengan Indonesia”. Pernyataan ini menurut saya ada benarnya, tetapi untuk kasus seperti ini sebaiknya pendidikan di Indonesia lihat pelajaran baik dari beberapa sekolah di Luar Negeri. Jika dikira bagus, diterapkan saja. Jika masih kurang cocok, berarti perlu direkayasa sehingga memudahkan guru untuk mengajarnya dan memudahkan anak untuk menerima pelajaran itu. Sebaliknya, yang buruk tidak sudah diterapkan di Indonesia. Semoga pendidikan di Indonesia lebih baik. Amin.