Sunday, 2024-04-28, 2:00 AM
Welcome Guest | RSS

SDN Jawa 1 Martapura Kabupaten Banjar

Site menu
Tag Board
Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Login form

Main » 2013 » September » 16 » Ujian Nasional : Antara Kejujuran dan Kelulusan
7:19 PM
Ujian Nasional : Antara Kejujuran dan Kelulusan

Kebijakan Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu penentu kelulusan siswa telah memukul genderang reformasi pendidikan di Indonesia. Mulanya UN hanya digunakan sebagai parameter untuk memetakan kemajuan pendidikan nasional sehingga pemerintah memiliki data yang akurat untuk memperbaiki tingkat pendidikan di suatu daerah. Namun sejak tahun 2003, reformasi pendidikan telah dimulai di Indonesia dengan ditetapkannya nilai UN sebagai syarat kelulusan. Sejak saat itu, setiap sekolah berusaha agar seluruh siswanya bisa lulus UN sesuai dengan ketetapan standar nilai kelulusan yang setiap tahun selalu meningkat.

Faktanya, sampai saat ini pelaksanaan UN masih menuai berbagai persoalan. Sejak berubah nama dari Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN) pada 2005, program pendidikan nasional yang satu ini tidak pernah sepi dari kontroversi. Hal ini disebabkan pembangunan pendidikan selama tiga tahun seolah hanya terfokus pada UN yang hanya beberapa hari saja.

Ujian Nasional dianggap sebagai kebijakan yang sangat menentukan kesuksesan pendidikan nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BSNP selaku penyelenggara, sekolah, guru, siswa, dan orang tua siswa mengerahkan segala daya dan dana untuk menyukseskannya. Jika hasil UN tinggi maka bisa diklaim sebagai tingginya kemajuan pendidikan di Indonesia. Padahal, pendidikan yang dituntut siswa di bangku sekolah tidak hanya terbatas pada beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan saja. Sayangnya, selama diberlakukannya standar nilai UN sebagai syarat kelulusan tak pernah ada kata sukses dari program yang setiap tahun menelan anggaran ratusan miliar rupiah ini. Persoalan utama UN adalah adanya ketidakjujuran dalam proses pelaksanaan sehingga terjadi kebocoran soal dan kunci jawaban, disamping kecurangan lainnya. Namun, pemerintah seolah menutup sebelah mata terhadap segala ketidakjujuran yang terjadi dengan berbagai dalih dan lebih memandang kepada kesuksesan hasil UN.

Setiap daerah berlomba untuk menyukseskan program UN dengan berusaha meraih angka kelulusan yang tinggi, kalau perlu 100 persen. Anehnya, rasio perbandingan antara angka kelulusan dan angka kejujuran di daerah berbanding terbalik. Sebagai contoh, tahun 2009 angka kelulusan di Gorontalo mencapai 90 persen, dengan angka kejujuran yang sangat minim. Akibatnya, tiga sekolah di Gorontalo harus menanggung beban berkepanjangan, karena harus menyelenggarakan UN ulang. Indikasi adanya kebocoran soal dan kunci jawaban terkuak kala itu. Tahun 2010, hampir separuh siswa tidak lulus, dan sebagai gantinya angka kejujuran di Gorontalo berada di posisi memuaskan yakni peringkat kedua. (ANTARA). Dengan kenyataan seperti ini, maka tidak mustahil akan berlaku rumus jika jujur maka hancur, sebaliknya jika curang maka menang. Tentunya, bukan kesuksesan yang demikian yang diinginkan bangsa ini.

Proses standarisasi nilai dalam UN tidak sejalan dengan standar kualitas pendidikan yang belum merata, padahal seluruh soal UN sama di seantero daerah. Suatu hal yang tidak adil jika mengujikan soal yang sama dan berharap hasil yang sama bagusnya antara sekolah maju di kota dengan sekolah yang hampir ambruk dengan fasilitas seadanya dan segala faktor KKM yang rendah.

Program UN juga dijadikan kendaraan politik. Momentum sosialisasi dan pelaksanaan UN sering digunakan sebagai sarana proyek kepentingan lain diluar kepentingan pendidikan persekolahan. Biasanya tiap kepala daerah menargetkan angka kelulusan UN yang tinggi dan selalu meningkat setiap tahun di daerahnya. Dengan dalih pencapaian IPM, mutu pendidikan, daya tampung sekolah tahun depan, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu harus selaras dengan kebijakan serta target program (politik) PEMDA/Bupati. Pertimbangan Sekolah Berstandar Nasional (SSN)/ Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) modalnya juga dari kualitas ranking rata-rata UN. Para kepala sekolah juga punya ambisi karir ingin menjadikan sekolah sebagai unggulan dan gengsi tersebut ada pada nilai UN serta kelulusan siswanya. Dengan argumen-argumen tersebut, "teamwork” harus bekerja ekstra dan efektif. Tidak heran berbagai cara dilakukan demi pencapaian target UN tersebut. Demikianlah jadinya UN tidak murni lagi mengukur prestasi belajar siswa seutuhnya.

Sementara itu, putusan perkara gugatan UN di Mahkamah Agung (MA) masih dipersoalkan. Tahun 2009 lalu, MA memutuskan agar pemerintah menghentikan dulu kebijakan UN bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap dan merata di seluruh daerah. Namun, pemerintah tetap saja melaksanakan UN setiap tahunnya dengan dalih telah dilakukan perbaikan sarana dan prasarana secara drastis dengan ditingkatkannya anggaran pendidikan. Disamping itu, nilai sekolah juga dijadikan indikator penilaian dalam UN. Seiring perjalanan waktu, kondisi saat ini sudah berbeda sehingga tidak relevan jika masih disamakan dengan kondisi saat UN pertama kali diadakan.

Ketidaktaatan pemerintah pusat terhadap putusan MK sama dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah pusat akan diikuti oleh pemerintah daerah. Bentuk-bentuk ketidaktaaatan ini akan terus bercabang dan dalam bentuk yang semakin kompleks termasuk korupsi kelas paus sampai kelas teri. Hal ini jelas bertentangan dengan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah.

Disadari atau tidak, kecurangan dalam UN telah membimbing generasi "terdidik” untuk belajar berbohong, menjual kejujuran dengan kelulusan, kecuali bagi individu idealis yang masih mampu mempertahankan kejujuran di tengah realitas yang serba praktis. Ketidakjujuran ini adalah sebuah keberanian awal yang cukup untuk menjadi seorang koruptor di masa depan. Terlebih lagi UN didoakan agar selalu lulus 100 persen namun disertai ikhtiar konyol dengan mencari bocoran soal bahkan membeli nilai.

Jika pemerintah menganggap tingginya angka kelulusan UN merupakan cermin kesuksesan pendidikan nasional dan bisa mensejajarkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan negara lain yang lebih maju maka hal ini hanyalah kesuksesan semu belaka. Menurut Masduki, Wakil ketua PP LP Ma’arif yang dengan tegas menolak UN, berdasarkan hasil survey UNESCO pada 2011, hanya 6 persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global. Selanjutnya, tidak lebih dari 24 persen peserta didik yang tercatat memiliki output yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kemudian, 70 persen peserta didik yang tercatat memiliki output dibawah Standar Pelayanan Minimal (SPM). Jadi, UN selama ini terbukti tidak dapat menyentuh target yang sebenarnya. Disamping itu, pelaksanaan UN juga telah menghabiskan anggaran pendidikan sekitar 600 miliar setiap tahunnya. Jadi, UN itu menghabiskan dana, tetapi tidak meningkatkan mutu.

Jika pelaksanaan UN diselenggarakan dengan mengutamakan kejujuran, maka akan diperoleh hasil nyata yang beragam dari setiap sekolah. Didasari dengan masih belum meratanya kualitas guru, input peserta didik, sarana dan prasarana pendidikan serta akses informasi, maka tentunya sebagian besar sekolah-sekolah yang dibawah standar akan mendapatkan hasil UN yang dibawah target pula. Dengan adanya fakta seperti itu, pemerintah akan dapat merencanakan program-program pembenahan sekolah. Namun, jika sebagian besarnya lulus dengan 100 persen, tidak peduli sekolah itu ada di kota dengan segala fasilitasnya atau di daerah terpencil yang serba kekurangan, maka apalagi yang harus dibenahi pemerintah toh hasilnya juga sudah "bagus”. Gambaran kualitas pendidikan yang sebenarnya akan menjadi buram dengan hasil kelulusan UN yang tinggi tetapi dijalankan dengan segala kecurangan.

Tujuan pemerintah agar taraf pendidikan di Indonesia meningkat sehingga bisa bersaing dengan negara lain merupakan tujuan yang mulia. Setiap negara pasti mendambakan kebaikan bagi bangsanya. Namun, ketika tujuan tersebut digapai dengan jalan menghalalkan segala cara maka hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan. Andaipun hasil yang diperoleh bagus, itu hanya tampilan luarnya saja. Kualitasnya bisa jadi sangat jauh dari harapan. Sesuatu yang baik akan didapatkan dengan cara yang baik pula. Oleh karena itu, akan lebih baik jika UN dikembalikan kepada fungsi awalnya yaitu sebagai parameter untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai daerah, bukan sebagai standar kelulusan siswa.

#Tulisan ini pernah diterbitkan di Radar Banjarmasin post pada 2012

Views: 703 | Added by: sdnjawa1 | Tags: kejujuran, kelulusan, ujian nasional | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Search
Calendar
«  September 2013  »
SuMoTuWeThFrSa
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930
Entries archive
Flag
free counters

Copyright MyCorp © 2024